Download Terjemahan Kitab Minhajul Abidin Imam Ghazali
klik link dibawah ini :
kitab Minhajul Abidin imam Ghazali
Menguak Penulis Kitab Minhajul ‘Abidin Sebenarnya, Imam Al-Ghazali atau Bukan?
Siapa tak kenal Imam Al-Ghazali, ulama besar yang hidup pada abad kelima Hijriah ini turut mewarnai dunia intelektual, serta mempengaruhi dan mengilhami banyak pemikir baik dari kalangan umat Islam maupun nonmuslim. Bahkan hingga sekarang, pemikirannya tak berhenti dikaji baik di berbagai ruang diskusi di berbagai penjuru dunia. Ulama yang lahir dengan nama Muhammad ini sangat produktif mengabadikan pemikirannya di berbagai bidang ilmu. Salah satu yang hingga kini masih intens dikaji terutama di pesantren-pesantren adalah karyanya dalam bidang tasawuf yang berjudul Minhajul ‘Abidin.
Belakangan kitab Minhajul ‘Abidin ramai diperbincangkan. Bukan isi kandungannya, namun justru sisi paling fundamental dari sebuah karya ilmiah, yaitu siapa sebenarnya penyusun kitab tersebut. Hampir semua sepakat bahwa kitab tersebut adalah karya Imam Al-Ghazali, namun sebagian orang beranggapan sebaliknya. Isu tentang validitas nama Al-Ghazali sebagai penulis kitab tersebut sebenarnya sudah muncul sejak dahulu. Ibnu ‘Arabi yang pertama kali mencuatkan isu tersebut. Sufi berjuluk As-Syaikhul Akbar tersebut dalam Muhadharatul Abrar wa Musamaratul Akhyar menceritakan kurang lebih demikian:
إن الشيخ أبا الحسن علي بن خليل السبتي كان عالما بالحقيقة، عارفا، مخمول الذكر رأيته ببستة وتباحثت معه ورأيت له تصانيف، منها منهاج العابدين الذي يعزى للعزالي، وليس له
Artinya “Syekh Abul Hasan ‘Ali bin Khalil adalah orang yang ma’rifat. Ia mengetahui ilmu hakikat. Ia sosok yang tak banyak dikenal orang. Aku melihatnya di Bastah dan berdiskusi dengannya. Aku melihat beberapa karangannya. Di antaranya adalah Minhajul ‘Abidin yang masyhur dinisbatkan pada Al-Ghazali, padahal bukan karangannya.” (Murtadha Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz I, halaman 59).
Statement ini kemudian dikutip oleh Sayyid Murtadha Zabidi dalam Ithaf-nya dan juga oleh Sayyid Ahmad bin Al-Ma’mun Al-Balghitsi dalam Al-Ibtihaj.
Sayyid Murtadha Zabidi tampak sepakat dengan Ibn ‘Arabi. Ia mengatakan, “Tajuddin As-Subki tidak menyebut Minhajul ‘Abidin dalam daftar karangan Al-Ghazali”. Sayyid Ahmad Al-Balghitsi bahkan dengan tegas menyebut Minhajul ‘Abidin bukan karya Al-Ghazali.
Tajuddin As-Subki memang memiliki karya yang memuat biografi ulama Syafi’iyyah berjudul Thabaqatusy Syafi’iyyah. Al-Ghazali termasuk salah satu tokoh yang dimuat di dalamnya, bahkan dengan paparan yang cukup panjang. Memang ketika menjelaskan biografi Al-Ghazali, As-Subki menyebut daftar kitab karya Al-Ghazali, tapi tidak mencantumkan kitab Minhajul ‘Abidin. Namun, ketika menceritakan biografi Al-Bukhari, pengarang Shahih Bukhari, As-Subki mengutip syair dalam Minhajul ‘Abidin dan menisbatkan kitab tersebut pada Al-Ghazali. (Tajuddin As-Subki, Thabaqatusy Syafi’iyyah Al-Kubra, [Dar Hajr: 1992], juz II, halaman 231).
Namun begitu, Dr. Mahmud Mushthafa Halawi, muhaqqiq kitab Minhajul ‘Abidin, mengungkapkan beberapa bukti dan alasan bahwa kitab Minhajul ‘Abidin adalah karya Al-Ghazali:
para penulis yang menceritakan biografi Al-Ghazali mencatat kitab ini sebagai bagian dari hasil karya beliau;
beberapa manuskrip yang ada menyebut Al-Ghazali sebagai pengarang kitab tersebut, dan dalam pembukaannya dijelaskan bahwa kitab tersebut didiktekan oleh Al-Ghazali pada muridnya yang bernama ‘Abdul Malik, dan Kitab ini adalah karya terakhir dari Al-Ghazali;
dalam kitab Minhajul ‘Abidin terdapat beberapa isyarat dengan menyebut beberapa karya Al-Ghazali terdahulu;
hadits-hadits dalam kitab Minhajul ‘Abidin mayoritas terdapat pada ‘Ihya’ Ulumiddin;
validitas statement Ibn ‘Arabi dipertanyakan;
Abul Hasan, orang yang menurut Ibn ‘Arabi adalah pengarang Minhajul ‘Abidin, adalah seorang sufi yang tampak menganut paham hulul, yang mana sangat jauh dengan isi kandungan kitab itu sendiri;
banyak yang berpendapat Minhajul ‘Abidin adalah karya Al-Ghazali, sedangkan Ibn ‘Arabi seorang diri mengatakan kitab tersebut bukan karya Al-Ghazali.
Dr. Mahmud Mushthafa juga mengungkapkan kemungkinan lain, yakni mungkin saja saat bertemu Abul Hasan As-Sabti, Ibn ‘Arabi baru mengetahui ada kitab yang disebut karya Al-Ghazali yang berjudul Minhajul ‘Abidin, namun belum pernah membacanya. Sehingga ketika mengetahui ada karya Abul Hasan dengan judul yang sama, ia berkesimpulan sebagaimana statemen yang diungkapkannya. (Mahmud Mushthafa Halawi, Pengantar Tahqiq Minhajul ‘Abidin, [Beirut, Mu’assasatur Risalah: 1989], halaman 18-21). Wallahu a’lam.
"Minhajul 'Abidin", Sebuah Kitab Renungan untuk Jiwa yang Tengah Gundah
7 Topik Dalam Kitab Minhajul Abidin Karya Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali merupakan sosok ulama yang sangat dihormati oleh umat Islam, hal ini terbukti banyak sekali karya-karyanya yang di pelajari hingga saat ini di hampir penjuru dunia.
Ihya' Ulumuddin, merupakan salah satu karya kongkrit beliau banyak sekali dipelajari, dijadikan rujukan, dan banyak dibaca di berbagai lembaga Islam, khususnya Pondok pesantren.
Selain itu, ada pula kitab tentang Ushul Fiqih, yang bernama al-Mustasyfa yang juga banyak dijadikan referensi khususnya bagi mereka yang menyukai kajian pokok-pokok fikih atau metodologi istinbath hukum.
Kitab Minhajul Abidin, merupakan salah satu deretan karyanya yang mengulas tentang tahapan-tahapan seorang muslim, agar dapat mencapai kesempurnaan dalam ibadah. Seperti apa isinya? berikut ini ulasannya.
7 Topik Dalam Kitab Minhajul Abidin
Tidak banyak yang menyadari, bahwa untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah, tidak cukup hanya berbekal dengan pengetahuan di bidang fikih saja, namun ada beberapa langkah dan tahapan yang perlu dilalui. Apa saja langkahnya?
Imam Ghazali, dalam kitab ini menjelaskan secara rinci tahapan-tahapan dan langkah-langkah bagi seseorang yang ingin menggapai kesempurnaan tersebut. berikut ini penjelasannya.
# Langkah Pertama, Ilmu Pengetahuan
Seorang hamba yang Ingin menggapai kesempurnaan ibadah yang diajarkan oleh Imam Al Ghazali adalah memperdalami ilmu khususnya ilmu syariah dan tauhid.
Sebab seseorang yang beribadah namun akibatnya tidak benar atau tidak memiliki ilmu maka bisa dipastikan ibadahnya tidak diterima hal ini juga sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Ruslan dalam kitabnya Zubad Nyatakan sebagai berikut :
"Siapapun yang beramal tanpa dilandasi dengan ilmu # maka amalnya tidak diterima dan ditolak"
# Langkah Kedua, Taubat
Sementara langkah yang kedua bagi seorang hamba agar bisa sampai pada ibadah yang sempurna adalah dengan memperbanyak atau melakukan tobat nasuha.
Imam Al Ghazali mengatakan pentingnya seorang hamba senantiasa bertobat sebab tobat memiliki dua manfaat utama, yaitu
Pertama , tobat adalah hal yang membuat seorang hamba dapat berhasil melaksanakan ketaatan. Kedua, dengan bertobat diharapkan ibadah seorang hamba dapat diterima oleh Allah
# Langkah Ketiga, Menjauhi Godaan
Beribadah seringkali terdapat yang akan menghalangi seseorang tidak nya ada empat godaan dalam beribadah yang disebutkan oleh Imam al-ghazali.
1. Godaan dari hal-hal duniawi
2. Godaan dari sesama makhluk hidup
3. Godaan dari setan
4. Godaan dari hawa nafsu yang senantiasa mengajak seseorang untuk bermaksiat kepada mbak Allah swt.
# Langkah Keempat, Mewaspadai Rintangan dalam Ibadah
Menujuk kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan, mestinya akan banyak sekali rintangan yang dilalui, termasuk jika seorang hamba ingin menggapai kesempurnaan dalam beribadah.
Imam Ghazali, dalam kitab tersebut, menyebutkan empat macam rintangan yang mungkin saja akan dihadapi oleh seorang hamba, yakni rintangan dalam hal rejeki dan keinginan hawa nafsu, rintangan dari rasa khawatir yang berlebihan, rintangan berupa ketetapan Allah swt. dan yang terakhir adalah rintangan berupa musibah dari Allah swt.
# Langkah Kelima, Motivasi dan Dorongan
Motivasi dalam beribadah merupakan tangga kelima yang harus dilalui oleh seorang hamba. Maksud dari dorongan tersebut, menurut Imam al-Ghazali ada dua, yakni adanya perasaan senantiasa mengharap rahmat Allah swt "Raja'", dan disisi lain juga tetap harus memiliki rasa takut, tidak diterimanya amal ibadah, atau biasa disebut dengan "Khouf"
Kedua elemen ini harus senantiasa seimbang, tidak boleh hanya rasa takut tidak mendapatkan kasih sayang Allah, atau hanya mengharap tanpa adanya rasa khawatir sama sekali.
# Langkah Keenam, Menjauhi Hal-hal yang merusak Ibadah
Ibadah kita, dianggap sah karena memenuhi rukun dan syaratnya, namun juga bisa saja tidak memiliki nilai,karena ada hal-hal yang merusak, misalnya karena tercampur dengan riya'dan perasaan ingin dipuji.
Maka langkah berikutnya, yang harus dilalui oleh seorang hamba adalah, senantiasa berusaha menghindari hal-hal yang merusak ibadah secara formalitas, maupun secara substansialnya.
Jangan sampai ibadah yang dilakukan hanya bertujuan untuk menyelesaikan kewajiban saja, tanpa adanya keikhlasan di dalamnya.
# Langkah Ketujuh, Senantiasa Bersyukur
Dan langkah terakhir yang harus dilalui oleh seorang hamba adalah usaha senantiasa mensyukuri segala nikmat yang Allah swt. berikan, terutama nikmat hidayah, nikmat tauqiq sehingga Allah swt. memberikan kesempatan kepadanya untuk senantiasa beribadah kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar